Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bonnie Triyana Dorong Sejarah dan Sastra Jadi Mata Pelajaran Wajib

Bonnie Triyana saat diwawancarai oleh Pers Marhalah 'Ulya di Outlier Cafe Ciputat, Tangerang  Selatan, Banten pada Jumat (07/11/2025).
Bonnie Triyana saat diwawancarai oleh Pers Marhalah 'Ulya di Outlier Cafe Ciputat, Tangerang  Selatan, Banten pada Jumat (07/11/2025). 

Tangerang Selatan, Pers Marhalah ‘Ulya

Bonnie Triyana, sebagai sejarawan dan juga anggota DPR RI dari Fraksi PDIP mengatakan perlu adanya mata pelajaran wajib sejarah dan sastra di sekolah. Hal itu merupakan bagian dari tugas dirinya dan teman-temannya di komisi X DPR RI, sebagai Panitia Kerja (Panja) yang sedang berfokus pada undang-undang Sisdiknas, No. 20 tahun 2003.

"Saya dan teman-teman Komisi X DPR RI sedang menemasukkan pelajaran sejarah dan sastra sebagai mata pelajaran wajib untuk anak sekolah," Ucap Bonnie Triyana saat diwawancarai oleh Pers Marhalah 'Ulya di Outlier Cafe Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada Jumat (07/11/2025).

Selain itu, undang-undang Sisdiknas pasal 37 tentang kurikulum, di dalamnya, belum ada mata pelajaran wajib sastra dan sejarah sehingga memang perlu adanya instrumen yang mengatur hal itu untuk meningkatkan literasi dan numerasi anak-anak di Indonesia, Kata Bonnie.

"Undang-undang Sisdiknas pasal 37, tidak ada sejarah dan sastra," Jelas Sejarawan Bonnie Triyana.

Selain undang-undang Sisdiknas, Bonnie juga menyoroti pengangkatan pengusulan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Dia menyebutkan bahwa dengan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, maka akan menutup peluang diskusi terbuka dan egaliter berkaitan apa yang terjadi di masa lalu, dan dampaknya bisa setiap presiden diangkat menjadi pahlawan nasional.

Dirinya yang juga menjadi Kepala Badan Sejarah Indonesia Pengurus DPP PDIP, itu menjelaskan tentang bahaya mengsakralisasi pemimpin. Ketika mengsakralisasi pemimpin, berarti ada kekebalan (impunitas) yang dilestarikan terhadap apa yang pernah dia lakukan.

Bonnie mengajak kepada masyarakat untuk desakralisasi kepemimpinan Soeharto. Pada saat kita melakukan tindakan tersebut, maka kita menjalankan tugas sebagai bangsa yang baik, menjaga kepercayaan sekaligus memperjuangkan konstitusi di Indonesia tetap terjaga dengan semestinya.

"Desakralisasi itu, sebagai pengingat pemimpin untuk menjalankan tugas, menjaga kepecayaan dan konstitusi sebaik-baiknya, sehingga kita melihat pemimpin sebagai orang-orang yang kita percaya," Jelasnya.

Bonnie menceritakan, perjalanan bangsa Indonesia dari sisi sejarah dalam membentuk identitas bangsa, sejak tahun 1950-an saat itu ditulis dengan narasi mengarah Indonesia Sentris. Menyambung itu, setelah 80 tahun Indonesia merdeka, perlunya menulis sejarah yang lebih reflektif dan kontemplatif.

"Corak penulisan sejarah tahun 50-an mungkin kita butuh Indonesia Sentris, tetapi di perjalanan Indonesia merdeka 80 tahun, kita membutuhkan satu narasi sejarah lebih reflektif dan kontemplatif," Ucap Bonnie.

Menurutnya, corak historiografi terhadap sejarah Indonesia, harus ditulis secara inklusif sehingga klaim kebenarannya tidak hanya dipandang benar oleh pemerintah. Hal itu menjadi alasan PDIP sangat kritis terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diluncurkan pada bulan desember oleh kementerian kebudayaan, Fadli Zon.

"Di PDIP sendiri, sangat kritis pada misalkan proyek penulisan ulang sejarah nasional yang dilakukan oleh Kementerian Kekudayaan," Tegasnya.

Sebagai bagian pembenahan sejarah Indonesia, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP tersebut menginginkan adanya corak historiografi. Setelah itu, pelajaran sejarah, utamanya dipelajari oleh para elit negara yang sering melanggar, generasi muda, hingga masyarakat.

Dengan penulisan sejarah yang baik, maka kita akan jujur dalam membaca sejarah dan mengakui kebenaran sejarah sekalipun terdengar pahit.

Penulis: Shopyan Hadi

Posting Komentar untuk "Bonnie Triyana Dorong Sejarah dan Sastra Jadi Mata Pelajaran Wajib"