Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemuda dan Revolusi Kesadaran, Ketika Ilmu Hingga Aksi Menjadi Pembebasan!

Arman Paramansyah
ilustrasi persmarhalah.com

 

Bekasi, Pers Marhalah

Di Tengah Dunia yang Bergerak Cepat

Kita hidup di tengah pusaran globalisasi dan disrupsi digital yang meniadakan sekat antara realitas dan virtualitas. 

Pemuda hari ini tidak lagi cukup menjadi penonton perubahan, mereka adalah aktor utama yang menentukan ke mana arah dunia akan berlabuh.

Namun, kemajuan teknologi yang seharusnya membebaskan justru berpotensi menindas manusia secara halus. 

Di era ketika kebenaran dikalahkan oleh narasi viral dan sensasi emosional, istilah “post-truth” terasa usang. Mungkin lebih tepat menyebutnya era “manusia digital”, manusia yang terkoneksi tetapi kehilangan akar kemanusiaannya.

Globalisasi membuka peluang, tetapi juga menanamkan kompetisi yang kejam. Karena itu, pemuda harus memiliki kesadaran baru, integrasi akal dan hati yang terdidik oleh nilai-nilai Qur’ani.

Bung Karno berceloteh dengan gaya progresif, "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."

Celotehan Bung Karno ini bukan slogan seremonial, tapi seruan ideologis. Ia tahu, setiap peradaban besar lahir dari api kesadaran pemuda yang berani berpikir melampaui zamannya.

Hari ini, semangat itu menemukan nafas barunya: bukan lagi perjuangan bersenjata, melainkan perjuangan dalam pendidikan dan ekonomi Qur’ani. 

Dua poros utama yang menyatukan spiritualitas dan rasionalitas, iman dan kerja, ilmu dan aksi.

Pemuda sebagai Agent of Change Dalam Pendidikan

Arman Paramansyah
Arman Paramansyah

Pendidikan adalah arena pertama tempat kesadaran dibentuk dan kekuasaan direbut kembali. Pemuda tidak lagi menjadi objek sistem, melainkan subjek perubahan yang menggerakkan peradaban.

Tulisan Nelson Mandela (1994) membuat kita tercengang,

"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."

Kalimat di atas menurut saya, menemukan kembali esensinya. Ketika para pemuda melawan sistem pendidikan yang menumpulkan pikiran dan menggantikannya dengan sistem yang memerdekakan pikiran.

Literasi Digital dan Teknologi

UNESCO (2022) menegaskan bahwa transformasi pendidikan digital hanya bisa berhasil jika didorong oleh generasi muda. Bagi mereka, teknologi bukan sekadar alat, tetapi medium pemberdayaan dan kolaborasi sosial.

Pierre Lévy dalam Cyberculture menulis, “Pengetahuan hanya bermakna ketika bersifat kolektif dan partisipatif.” Karena itu, literasi digital bukan sekadar soal teknis, tapi juga soal kesadaran sosial dan keadilan informasi.

Inovasi Kurikulum dan Metode Belajar

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menolak pendidikan model “bank” yang hanya menjadikan murid sebagai wadah kosong. Pendidikan semacam itu menciptakan kepatuhan, bukan kesadaran.

Pemuda hari ini harus menuntut kurikulum yang membebaskan. Project-based learning, critical pedagogy, dan lifelong learning sebagaimana dikampanyekan oleh OECD (2021). Dengan begitu, ruang belajar menjadi ruang pembebasan, bukan ruang domestikasi intelektual.

Pendidikan Karakter dan Nasionalisme

Ki Hadjar Dewantara (1930) menulis, pendidikan sejati adalah “usaha menuntun segala kekuatan kodrati anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”

Di tengah arus budaya global yang mengebiri jati diri, pemuda harus menjadi penjaga etika publik, menanamkan nilai gotong royong, integritas, dan kepedulian sosial.

Pengembangan Potensi Sesama

Pemuda sejati bukan hanya pembelajar, tetapi pengajar bagi sesamanya. Melalui komunitas, organisasi, dan gerakan kreatif, mereka menciptakan ekosistem kolaboratif.

Seperti dikatakan David Kolb, “Pengalaman adalah sumber utama pembelajaran.” Setiap forum berbagi menjadi wadah membangun knowledge society, masyarakat yang saling menguatkan dengan pengetahuan dan empati.

Pemuda Sebagai Agen Pembangunan Ekonomi

Pemuda memiliki potensi stratefis dalam membentuk wajah ekonomi di masa depan. Aktor perubahan yang berada di tengah disrupsi teknologi, ketimpangan sosial, dan transformasi pasar bebas. 

Menurut laporan World Youth Report yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN, 2023), generasi muda menyumbang lebih dari 40% Angkatan kerja dunia, dan menjadi kunci dalam pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Meski begitu, potensi besar ini hanya dapat dioptimalkan jika pemuda tidak hanya menjadi pelaku pasif dalam sistem ekonomi, melainkan menjadi Agent of Development, pencipta inovasi, pelopor wirausaha sosial, dan penjaga nilai-nilai keadilan ekonomi. 

Penguatan Produk Lokal

Bangsa tidak akan mandiri jika mental warganya masih bergantung pada produk luar. Gerakan Bangga Buatan Indonesia dan Local Heroes adalah bukti nyata peran pemuda dalam memperkuat ekonomi daerah.

Laporan Bappenas (2023) mencatat, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 61%, sebagian besar digerakkan oleh wirausaha muda yang memadukan nilai tradisi dengan teknologi digital.

Dengan mendukung produk lokal, pemuda tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga menjaga identitas budaya di tengah pasar global.

Mental produktif

Ketimpangan lapangan kerja menjadi tantangan utama bagi generasi muda saat ini. Bukan itu saja, mentalitas konsumtif yang terlalu dominan pun menjadi tantangan berikutnya. 

Saya teringat dengan teori yang diprakarsai Weber, Protestant Ethic anda the Spirit of Capitalism, kemajuan ekonomi lahir dari etos kerja produktif dan kesadaran moral terhadap tanggung jawab sosial.

Hari ini, pemuda perlu menanamkan paradigma baru dalam diri, “Dari konsumen menjadi Produsen, dari Pekerja menjadi Pencipta lapangan kerja”. 

Negara-negara dengan tingkat kewirausahaan muda di atas 30% menunjukkan pertumbuhan ekonomi lebih stabil dibanding konsumtif semata. (ILO, 2021).

Dalam sistem Islam, konsep di atas sejalan dengan sabda Rasulullah, "Sebaik-baik usaha adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih." (HR. Ahmad)

Ekonomi Inklusif dan Kolaboratif

Dalam ekonomi modern, Ekosistem perekonomian yang inklusif sangat diperlukan di era sekarang. Kolaborasi lintas sektor ekonomi menjadi syarat utama inovasi berkelanjutan. 

Teori Triple Helix yang dikemukakan Etzkowizh & Leydesdorff, menuliskan bahwa kemajuan ekonomi muncul dari sinergi antara tiga elemen utama, Universitas (pengetatuan), Industri (Inovasi), dan Pemerintah (regulasi).

Pemuda berpusat pada kolaborasi tersebut (seharusnya). Melalui jejaring digital, komunitas startup, dan kolaborasi akademik. 

Hal ini dapat menuntun mereka menjembatani dunia riset dengan kebutuhan pasar. Kolaborasi ini juga sejalan dengan prinsip SDGs 2030, khususnya tujuan 8. Decent Work and Economic Growth, yang menekankan pentingnya peran pemuda dalam inovasi ekonomi hijau, digital, dan sosial. 

Menyadarkan Peran Pemuda Saat Ini!

Penyadaran peran pemuda bukan sekadar motivasi individual, tetapi gerakan sosial yang terorganisir.
Program pelatihan keterampilan digital, kepemimpinan, dan kewirausahaan harus berjalan beriringan dengan peningkatan soft skills seperti empati, berpikir kritis, dan komunikasi lintas budaya.

UNESCO (2022) menegaskan bahwa youth civic engagement adalah faktor utama bagi demokrasi yang sehat. Karena itu, ruang partisipasi harus dibuka lebar, baik dalam kebijakan publik maupun proyek sosial.

Namun, ide-ide pemuda sering kali terhambat oleh “sistem kapital” yang hanya menguntungkan elit ekonomi. 

Pada tahap ini negara dan masyarakat sipil harus turun tangan, memberi dana, mentoring, dan legitimasi ruang bagi inovasi muda.

Dengan dukungan itu, penyadaran peran pemuda bukan lagi slogan romantik, tetapi gerakan sistemik yang melahirkan generasi produktif, kreatif, dan beretika.

Arsitek Peradaban Baru

Pemuda adalah jantung peradaban. Mereka bukan penikmat sejarah, tapi penciptanya. Mereka bukan korban globalisasi, tapi perancang masa depan.

Dalam dunia yang terus bergolak antara realitas dan virtualitas, masa depan tidak ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tapi oleh siapa yang paling sadar dan berani berpikir visioner.

Ketika akal dan hati generasi muda terdidik oleh nilai-nilai Qur’ani, ketika ilmu bersatu dengan kerja sosial, dan idealisme berpadu dengan tanggung jawab, maka lahirlah generasi yang visioner, berakhlak, dan berdaya saing tinggi.

Mereka bukan sekadar pemuda biasa, mereka adalah arsitek peradaban baru.Yang akan mengguncang dunia bukan dengan senjata, melainkan dengan pengetahuan, integritas, dan cinta terhadap kemanusiaan.

 

Penulis: Dr. Arman ParamansyahDosen PAI STAI Al-Marhalah Al 'Ulya Bekasi

Editor: Alief Hafidzt Aulia   

Posting Komentar untuk "Pemuda dan Revolusi Kesadaran, Ketika Ilmu Hingga Aksi Menjadi Pembebasan!"