"Kuliah Saja atau Aktif Organisasi? Membongkar Mitos, Risiko, dan Realitas Mahasiswa”
Bekasi, Pers Marhalah
Holla Marhalahers, Guten Tag
Apa kabar Marhalahers semua? Semoga semangat dan konsistensi kalian terus menyala, meskipun tugas kuliah di empat hari pertama sudah lumayan numpuk.
Akhir-akhir ini dinding kampus mengeluarkan rona sinisnya lagi, katanya "Kuliah saja sudah cukup, ngapain ribet-ribet ikut organisasi kampus? Semua itu hanya memperlambat skripsi kalian!."
Waw, kalimat itu seperti kopiah usang yang tiba-tiba muncul ketika obrolan bergeser dari IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) ke pengalaman.
Sederhana, mudah dipercaya, dan memiliki pesona praktis. Gelar sudah di tangan, kehidupan sudah mapan, kenapa harus ambil risiko waktu dan tenaga untuk menghadiri dramatisasi rapat?
Mulai panas? Atau bahkan, kalian sudah mulai ingin mencabik-cabik sang penulis? Baiklah.
Mari kita bongkar justifikasi ini dengan santai, mungkin sedikit sartistik, tetapi tetap jujur.
Artikel ini bukan semacam seruan moral, atau bahkan khutbah singkat yang biasa disajikan pada Jum'at.
Artikel ini coba mengungkap dengan pemerikasaan yang logis, sistematis, penuh emosional, dan tetap akademis tentang apa yang sebenarnya kalian pertaruhkan jika memilih cukup puas hanya dengan kuliah pulang-kuliah pulang.
Gelar vs Pengalaman
Dua dimensi yang sangat berbeda dalam ranah kampus. Jika kalian sudah menuntaskan graduations payment dan skripsi, pasti gelar akan kalian dapati.
Sedangkan pengalaman? Tidak cukup dengan payment, dimensi itu harus mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran. Dan biasanya, pengorbanan itu yang menghasilkan keuntungan lebih untuk kehidupan kalian.
Gelar sarjana adalah tanda bahwa kalian sudah menyelesaikan kewajiban perkuliahan. Gelar memberikan legitimasi akademis —bukti formal bahwa kalian tahu sesuatu tentang bidang yang diambil.
Di sisi lain, organisasi kampus menawarkan hal lain, dengan konteks yang berbeda. Konteks berarti memposisikan diri dalam konflik nyata (bukan sekadar IP atau IPK), memimpin orang dengan ego yang beragam, menyusun anggaran yang harus dipertanggungjawabkan, bekerja dengan deadline politis, hingga menghadapi kegagalan publik.
Keterlibatan mahasiswa di luar kelas, dengan meningkatkan pembelajaran, keterampilan, dan kepuasan hidup, itu jauh lebih berharga, ketimbang orang yang hanya onani intelektual di dalam kelas. (Theory of Student Involvement, Alexander Astin)
Dengan kata lain, Gelar memberikan "pengetahuan yang teruji", sedangkan organisasi memberikan "pengetahuan yang diuji dikehidupan nyata".
Organisasi Hanya Membuang Waktu dan Memperlambat Skripsi
Kalimat yang sering terdengar di telinga mahasiswa, apalagi jika memang ada mahasiswa organisasi yang seperti judul di atas.
Tapi kalimat itu seperti ada yang janggal, coba kita bedah satu-satu.
Argumen Waktu, memang organisasi menyita waktu. Tapi, waktu adalah sumber daya yang penting bagi manusia, dan harus dikelola dengan baik agar mencapai suatu tujuan.
Keterlibatan mahasiswa di organisasi dengan menghabiskan banyak waktu, justru memperkaya pengalaman dan pengetahuan tambahan bagi mereka.
Pertanyaan penting yang harus kalian jawab, "Apakah waktu itu bentuk kompetensi yang akan kalian butuhkan? atau hanya memoles angka di transkip nilai?
Argumen Skripsi, Betul sekali, terkadang menghabiskan waktu di organisasi dapat memperlambat skripsi.
Pada sisi yang lain, fokus pengembangan diri di organisasi dapat membantu mempercepat karier pasca lulus.
Argumen Mutu Diri, Mutu diri bukan hanya soal apa yang tertulis di ijazah. Mutu diri ialah kombinasi kompetensi teknis, kecerdasan sosial, dan integritas.
Organisasi adalah laboratorium integritas—di mana janji diuji, ego bertabrakan, dan solusi improvisasi lahir.
Intinya, menyuruh mahasiswa memilih antara gelar atau organisasi adalah menyodorkan ilusi biner. Dunia kerja menuntut keduanya.
Sebenarnya, Apa yang Didapat di Organisasi?
Mari berhenti dari daftar klise “leadership, teamwork, communication”, sekarang kita membaca ke hal yang lebih konkret.
Ikut organisasi kampus sebenarnya sama seperti mengelola mini proyek. Kita ambil contoh, saat anda diminnta menyusun proposal suatu kegiatan, itu bukan sekadar nyusun rundown lalu pasang pamflet di mana-mana.
Dari proposal tersebut, kalian dituntut untuk rapat, eksekusi, hingga evaluasi —semuanya adalah siklus manajemen proyek yang lengkap.
Inilah yang dikatakan David A.Kolb, pembelajaran berbasis eksperiensial (experiential learning), belajar melalui pengalaman langsung. Bukan hanya teori menggunakan slide Power Point.
Terus, kalau acaranya gagal, gimana? Panggung kosong, peserta kecewa, dan sponsor cemberut. Mau tidak mau, selalu ada satu tim atau bahkan diri kalian sendiri yang harus bertanggungjawab untuk menjelaskan.
Inilah crisis communication sesungguhnya, bagaimana menyusun permohonan maaf yang menenangkan, bukan malah memperkeruh keadaan.
Percayalah, skill ini sangat dibutuhkan di manapun, terlebih di dunia kerja.
Belum lagi soal jaringan. Mungkin, teman sekelas hanya mengenal anda sebagai "si paling males kuliah", "si paling males ngerjain tugas", dan "si paling membantah dosen." Tetapi, siapa sangka koneksi antar organisasi yang kalian punya, bisa lebih hangat, cair, dan bahkan lebih bermanfaat.
Ada juga pelajaran diplomasi. Berurusan dengan sponsor yang ribet dan penuh aturan, dosen pembimbing yang banyak mau, atau birokrasi kampus yang cukup menyebalkan—semua itu melatih kesabaran dan strategi negosiasi kalian.
Diplomasi praktis ini jarang sekali ada di kurikulum pendidikan, tapi makanan ini menjadi salah satu menu wajib yang disajikan dalam organisasi.
Akuntabilitas, jangan lupa. Mengelola dana organisasi bukan sekadar mencatat, baik pemasukan maupun pengeluaran, lalu CTRL+C & CTRL+V pindahkan ke Excel.
Itu adalah Soft Governance, mengelola kepercayaan publik dalam skala kecil. Di sinilah anda belajar bahwa angka dalam laporan, bukan hanya baris data, tapi bukti integritas yang bisa diuji kapan saja, dan di mana saja.
Ini semua bukan "hiasan di CV". Ini adalah modal kerja nyata yang teruji oleh waktu dan konflik.
Risiko dan biaya: Jangan romantisasi organisasi
Namun, mari kita jujur, tidak semua organisasi adalah taman bermain keterampilan yang manis. Ada jebakan yang bisa menjerat siapa saja.
Bayangkan seorang mahasiswa yang terlalu rakus mengambil banyak peran sekaligus. Alih-alih terlihat produktif, ia justru kewalahan, kuliahnya terbengkalai, dan akhirnya hanya meninggalkan catatan rapat tanpa nilai akademis.
Ada pula yang terjebak dalam pusaran politik organisasi—intrik kecil, saling sikut, dan drama kursi jabatan—yang menyedot energi lebih besar daripada skripsi.
Dan jangan lupakan pengalaman pahit ketika bertemu pemimpin yang buruk atau sistem yang berantakan.
Rasanya memang menyakitkan, tapi di sanalah pelajaran keras, bagaimana menghadapi kegagalan, belajar memilah mana yang berharga, dan tetap mengambil hikmah tanpa harus kehilangan semangat untuk berorganisasi.
Realistis tentang risiko akan membantu Anda memilih peran yang bermanfaat, bukan sekadar beban.
Pengaruh pada skripsi—strategi praktis (tanpa basa-basi)
Kalau yang paling Anda takutkan dari ikut organisasi adalah skripsi yang molor, sebenarnya ada strategi sederhana yang bisa dipakai.
Anda bisa membuat jadwal “blok kerja skripsi” yang sifatnya wajib, dua sampai tiga jam setiap pagi, dan jangan sekali-kali diganggu oleh rapat ataupun ajakan nongkrong.
Lalu, cobalah memilih peran organisasi yang sejalan dengan topik skripsi Anda—entah itu di divisi penelitian, dokumentasi, atau kepanitiaan acara yang nyambung dengan tema yang sedang Anda teliti.
Dengan begitu, energi yang dicurahkan tidak terasa mubazir karena justru saling mendukung.
Selain itu, jangan terjebak jadi “pahlawan tunggal” yang menanggung semua tugas. Belajarlah mendelegasikan pekerjaan secara sehat—biarkan orang lain juga bertanggung jawab.
Ketika masa-masa kritis menjelang deadline akademik datang, tidak ada salahnya menurunkan intensitas aktivitas organisasi sementara waktu.
Yang penting, komunikasikan dengan jelas agar tidak dianggap kabur dari tanggung jawab.
Intinya, Anda tidak harus memilih salah satu dan meninggalkan yang lain. Skripsi dan organisasi bisa tetap berjalan berdampingan, asalkan Anda tahu cara menatanya dengan bijak.
Bagaimana employer melihatnya (real talk)
Perusahaan modern apalagi startup yang ritmenya cepat dan penuh ketidakpastian—tidak sedang berburu mahasiswa dengan sekadar koleksi angka akademis.
IPK boleh jadi syarat administratif, tapi bukan untuk jaminan anda bisa bekerja di perusahaan hedon, kelas atas.
Mereka justru mencari orang yang mampu merakit solusi dari sumber daya terbatas, yang bisa menggerakan tim tanpa harus menunggu jabatan formal, dan yang terbukti bisa bekerja sama dengan manusia dengan background yang berbeda, dan lengkap dengan drama, egoisme, dan komprominya.
Pada titik ini, pengalaman organisasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan mererotkan nilai di lembar Ijazah.
Mengelola acara kampus dengan dana cekak, memimpin rapat yang penuh perbedaan pendapat, hingga bernegosiasi dengan calon sponsor.
Semua itu adalah simulasi kecil dari dunia kerja yang sesungguhnya. Tidak heran, jika banyak perusahaan menilai pengalaman organisasi sebagai indikator awal "kesiapan kerja" yang lebih afdhol ketimbang IPK semata.
Di sisi lain, tidak semua jalur karier bermain dengan logika seperti di atas. Dunia riset akademik, misalnya, masih menjunjung tinggi IPK, publikasi artikel, hingga konsistensi di bidang penulisan karya ilmiah.
Profesi hukum, contohnya lagi. Di bagian tertentu, mereka masih menghargai rekam jejak akademis ketimbang pengalaman organisasi.
Artinya, opsi karier yang dipilih harus sesuai dengan arah kehidupan kalian.
Jangan terburu-buru mengklaim dan menggeneralisasi, bahwa organisasi selalu lebih penting dibandingkan IPK.
Pada realitasnya, keduanya berjalan beriringan, dan akan jauh lebih berarti jika selaras dengan arah hidup yang ingin kalian tuju.
Mengapa Masih Banyak Mahasiswa yang Memilih Kuliah Saja?
Pertanyaan ini terus menjadi badai bagi mereka yang aktif dalam organisasi. Tidak semua mahasiswa memandang organisasi adalah "opsi karier", terkadang organisasi hanya dipandang sebelah mata. Bukan hanya oleh mahasiswa, bahkan dosen sekalipun.
Benar juga. Tidak semua orang harus menjadi "aktivis kampus" atau "manusia rapat setiap hari". Tapi sadarkah kalian, ada faktor-faktor yang menyebabkan hal demikian sering terjadi, mungkin hampir di seluruh kampus yang ada di Indonesia (khusus) nya.
Contoh konkretnya adalah "tekanan keluarga", tidak jarang faktor tersebut menjadi salah satu alasan mahasiswa tidak berpartisipasi aktif dalam organisasi. "Fokus saja kuliah, tingkatkan IPK. Gak usah ikut organisasi-organisasi yang tidak jelas arahnya."
Mungkin, bagi sebagian kalangan, restu orang tua merupakan sesuatu hal yang sakral, dan tidak boleh diganggu gugat.
Kebutuhan finansial juga menjadi faktor. Banyak mahasiswa harus bekerja sambil kuliah demi menghidupi keluarga cemaranya.
Mungkin bagi mereka, adanya waktu luang bukan untuk rapat yang tidak jelas dan menyita waktu. Bagi mereka, setiap menit adalah uang makan harian.
Bagi mereka, setiap jam adalah uang sewa kos. Dan bagi mereka, setiap hari adalah uang untuk menghidupa beberapa bulan kedepan.
Ada juga kecemasan sosial, tidak semua orang terlahir dengan keberanian berdiri di hadapan publik. Bagi sebagian orang, masuk ruangan yang penuh orang asing sudah membuat jantung mereka copot dari tempatnya.
Organisasi, dengan segala intrik dan dinamika interpersonalnya, bisa menjadi wahana menakutkan, lebih-lebih dari sidang akhir skripsi.
Dan tentu saja, ada yang memilih fokus akademisi secara sadar.
Mereka benar-benar tenggelam dalam lautan riset, dalam aliran literatur, dan terus berenang untuk mengejar gelar akademis yang pasti. Ini adalah pilihan mereka yang patut kita hormati.
Semua faktor yang telah disebutkan, sangat valid dan benar-benar konkret. Tidak semua mahasiswa mau dicetak dengan pola dan sistem yang sama.
Sekali lagi saya ingatkan, artikel ini bukan khutbah motivasi atau kampanye wajib ikut organisasi. Malah sebaliknya.
Artikel ini merupakan tawaran peta, supaya segala keputusan yang ANDA ambil, dipikirkan secara sadar dan secara matang-matang.
Jangan kalian beranggapan dengan hadirnya tulisan ini, kalian menjadi merasa bersalah karena tidak ikut organisasi. Bukan itu poinnya.
Sketsa Keputusan, bila Anda Masih Mempertimbangkan Organisasi
Jika Anda masih ragu, lihat check-list sederhana ini:
Apakah Anda punya waktu untuk peran yang bermakna tanpa mengorbankan target akademik? Apakah organisasi tersebut punya tujuan yang jelas dan aktivitas yang relevan? Apakah ada mentor atau struktur yang mendukung pembelajaran? Bisakah pengalaman tersebut dikaitkan langsung dengan karier yang Anda inginkan?
Jika jawaban mayoritas “ya”, ikut organisasi adalah investasi—bukan sekadar hobi.
![]() |
| Ringkasan Hangat |
FAQ Praktis
- Kalau saya harus memilih, mana yang lebih baik: IPK tinggi atau pengalaman organisasi?
Jawab: Idealnya kombinasi. Jika harus memilih, sesuaikan dengan tujuan karier: riset/akademik → IPK dan publikasi; pekerjaan praktis/korporat/startup → pengalaman dan bukti keterampilan. - Bagaimana cara menceritakan pengalaman organisasi di CV tanpa terkesan lebay?
Jawab: Fokus pada hasil konkret: anggaran yang dikelola, jumlah peserta event, peningkatan engagement, atau proyek yang Anda pimpin—angka lebih berbicara. - Organisasi apa yang paling berguna?
Jawab: Yang memberi tanggung jawab nyata: kepanitiaan acara skala besar, divisi yang mengurus keuangan, tim riset atau media kampus, ormawa yang punya proyek terlaksan.
Pilihan bukan kutukan
Menolak organisasi karena khawatir skripsi tertunda adalah luka yang bisa disembuhkan dengan manajemen waktu; menolak organisasi karena percaya gelar otomatis menjamin kehidupan sukses adalah kepercayaan yang rapuh.
Jika hidup kampus adalah taman belajar, organisasi adalah laboratorium. Taman mengajarkan Anda teori tentang tumbuhan; laboratorium mengajar Anda bagaimana menanam ketika badai datang.
Keduanya bisa, dan sebaiknya, saling memperkaya.
Jadi: jika Anda bertanya “Perlukah aktif organisasi kampus jika hanya kuliah saja?”, jawaban realitasnya adalah: Tergantung tujuan Anda—tetapi bila tujuan Anda adalah kesiapan hidup nyata, organisasi lebih sering menjadi pilihan cerdas daripada sekadar hiasan di CV.
Kalau Anda memilih untuk tidak aktif, itu bukan dosa—asal keputusan itu dibuat dengan kepala dan hati yang seimbang, bukan karena takut dianggap salah jalan.
Penulis: Alief Hafidzt


Posting Komentar untuk ""Kuliah Saja atau Aktif Organisasi? Membongkar Mitos, Risiko, dan Realitas Mahasiswa”"