"Demokrasi atau Transaksi? Politik Dagang Sapi dari Orde Baru hingga Era Prabowo"
![]() |
Ilustrasi persmarhalah.com |
Bekasi, Pers Marhalah
Demokrasi pada hakikatnya adalah sistem politik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Prinsip dasarnya sederhana: kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan dipersembahkan untuk rakyat.
Namun dalam kenyataannya, demokrasi seringkali dipelintir menjadi alat legitimasi kepentingan pribadi para pemimpin.
Korupsi, kolusi, nepotisme, serta praktik pembagian kekuasaan menjadi penyakit yang sulit disembuhkan.
Fenomena ini kerap disebut sebagai "praktik politik dagang sapi", suatu istilah yang menggambarkan politik sebagai arena tawar-menawar yang sarat kepentingan.
George Orwell melalui karyanya Animal Farm (1945) pernah mengisyaratkan hal serupa. Ia menggambarkan bagaimana kekuasaan mampu menyingkap watak asli manusia.
Tokoh Napoleon dan Snowball, yang semula berjuang demi keadilan, akhirnya tergoda untuk menukar idealisme dengan praktik kekuasaan yang penuh intrik. Analogi ini tidak jauh berbeda dengan realitas politik Indonesia.
Praktik ini sudah diterapkan sejak Orde Baru, Soeharto melakukan hal KKN-nya dengan atas nama “Pembangunan” Tetapi pada nyatanya menurut ahli sejarah, rezim dialah yang paling banyak melakukan HAM berat, membungkam pers.
Selain itu, rezim Soeharto juga menerapkan sistem otoriter pada demokrasi, melakukan propaganda untuk memecah belah rakyat agar terbagi beberapa kelompok, bahkan Soeharto melakukan nepotisme dengan memberikan jabatan kepada anaknya sehingga anaknya berkuasa dan tutup telinga saat pers bekerja.
Kasus Tommy Soeharto memperlihatkan bagaimana praktik korupsi dan gratifikasi menodai sistem hukum.
Namun, berkat keberanian pers, sebagian praktik gelap ini akhirnya terbongkar.
Jejak Orde Baru meninggalkan warisan budaya politik transaksional yang hingga kini masih melekat dalam tubuh demokrasi Indonesia.
![]() |
Dokumen (Rayyan Fachrizki) |
Jika Diagram lingkaran tersebut, Meritokrasi—prinsip bahwa jabatan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi—tidak berjalan dengan semestinya.
Kekuasaan lebih banyak dibagi-bagi sebagai imbalan politik. Akibatnya, banyak pejabat tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai.
Rakyat dipelihara dalam kondisi miskin agar mudah dijadikan lumbung suara. Pada akhirnya, pemilu kehilangan makna substansialnya sebagai mekanisme demokratis.
Kabinet Prabowo dan Politik Transaksional
Filsuf Yunani, Plato menegaskan bahwa awal kehancuran suatu negara dimulai dari pemimpin yang kotor.
Saya mempunyai analogi sederhana, Negara adalah "kapal besar", lengkap dengan kompas dan peta. Namun, jika nahkodanya tidak memiliki kapasitas, maka kapal itu akan tersesat.
Analogi semacam ini sangat relevan untuk menggambarkan pemerintahan Prabowo Subianto. Sejak awal kepemimpinannya, Presiden gemoy itu menggemukkan kabinet dengan jumlah yang sangat besar.
Alih-alih yang diupayakannya dianggap sebagai media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat luas.
Setelah kepemimpinan sudah berjalan 100 hari, publik sudah menilai bahwa banyak kabinet yang tidak memberikan kontribusi secara signifikan. Prabowo juga berbagi-bagi kekuasaan kepada orang yang bukan ahlinya.
Sejarah politiknya menunjukkan konsistensi dalam pencalonan. Sejak 2004, 2009, 2014, 2019, hingga akhirnya berhasil memenangkan pemilu 2025 setelah empat kali gagal.
Setiap pencalonan, ia membutuhkan biaya besar, melibatkan TKN, relawan, hingga TKD.
Dukungan masif ini pada akhirnya mendorong praktik politik dagang sapi, di mana tim yang membantu kampanye berharap memperoleh imbalan kekuasaan.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah kabinet yang gemuk ini benar-benar mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas? Janji menumpas kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, menghapus stunting, memperkuat produk lokal, dan menyediakan layanan kesehatan gratis masih harus dibuktikan dengan kerja nyata.
Hukum, Oligarki, dan Rakyat Miskin
Masyarakat yang sejahtera sudah pasti lahir dari politik yang sehat. Namun ada persoalan mendasar, ketimpangan hukum menjadi hambatan sistem demokrasi, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Hukum bukan lagi instrumen independen, melainkan alat transaksi bagi elite politik.
Dampak ini dirasakan oleh rakyat miskin yang selalu dipelihara oleh kaum elite sehingga mereka tidak berdaya dihadapan penguasa.
Hal ini menjadi akar permasalahan, mengapa negeri ini tidak bisa maju, janji palsu, korupsi, nepotisme, sampai hukum yang dilemahkan.
Bukan di era Presiden Prabowo saja tetapi memang sistem ini sudah mengakar sejak lama. Solusinya bagaimana?
Solusinya adalah jangan memilih pemimpin berdasarkan popularitasnya saja, tetapi memilih pemimpin sesuai “meritokrasi” karena sudah pasti paham caranya memimpin, berkomunikasi dengan baik, dan mengaktualisasikan aspirasi publik.
Rakyat juga harus lebih cerdas dalam memilih. Bagi kalangan menengah dan terdidik, penting melakukan riset terhadap latar belakang calon pemimpin: apakah pernah terjerat kasus, bagaimana pendidikannya, dan apakah memiliki sikap bijak serta visi yang jelas.
Informasi ini harus disebarkan kepada rakyat bawah yang lebih rentan dimanipulasi. Jika rakyat mampu bersatu memilih pemimpin yang cerdas, amanah, dan berintegritas, maka praktik politik transaksional dapat dipatahkan.
Jika bukan rakyat yang pandai untuk memulai perubahan, maka sistem kotor ini akan terus menerus berjalan.
"Kemiskinan rakyat, menjadi sumber kekayaan penguasa. Semakin bodoh rakyat, semakin semena-mena para penguasa,"
Penulis: Rayyan Fachrizki, mahasiswa semester satu Prodi PAI STAI Al-Marhalah Al 'Ulya
Editor: Alief Hafidzt
Posting Komentar untuk ""Demokrasi atau Transaksi? Politik Dagang Sapi dari Orde Baru hingga Era Prabowo""