Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lakon Sarba Mayangsari di Festival Teater Tradisonal: Kisah Sarba Mulai dari Tekanan Sosial hingga Kutukan Janjinya

Budaya Betawi Topeng Blantek dari grup Fajar Ibnu Sena di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis, 12/06/2025
Festival Teater Tradisional Tahun 2025: Pertunjukkan Topeng Blantek dengan lakon Sarba Mayangsari di Gedung Kesenian Jakarta pada Kamis (12/06/2025) 

Jakarta, Pers Marhalah
Di tengah senja ibu kota dan hingar-bingar kehidupan di Jakarta, kemeriahan pentas tradisional berhasil memikat publik pada Rabu sore (12/6/2025).
Gedung Kesenian Jakarta, menjadi saksi bisu hadirnya seni pertunjukan budaya Betawi, Topeng Blantek.

Kesempatan kali ini, grup Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena menampilkan teater dengan lakon "Sarba Mayangsari" yang dituntun oleh Nasir Mupid selaku sutradaranya.

Lakon ini merupakan cerita rakyat dari Betawi yang mengisahkan tentang Sarba, seorang pria berusia 40 tahun yang belum juga menikah. 

Sarba adalah potret klasik lelaki tua yang diincar sahabat dan lingkungan karena tak kunjung menjadi nahkoda kapal rumah tangga. 

Sampai puncaknya, rayuan dan tekanan sosial yang menjadi suara membisingi telinganya.

Sarba menerima pinangan dari H. Marzuki untuk menikahi putrinya, Mayangsari. Namun, keindahan tak sedikitpun menghiasi rumah tangganya.

Tahun demi tahun sudah mereka lalui, tetapi belum juga dikaruniai keturunan oleh sang Ilahi. 

Problem ini membuat Sarba dihantui kegelisahan dan rasa malu. 

Hal ini menyebabkan Sarba mengucapkan janji di Gunung Batu Sempuh Tanggrang.

"Apabila istri saya hamil, maka saya akan membawa bekakak kebo," janji Sarba.

Tapi sayangnya takdir berkata lain, Tuhan pun menganugerahi anak lelaki diperut Mayangsari. 

Kejadian tragis datang, Sarba meninggal dunia akibat kutukan sumpah yang ia lontarkan di Gunung Batu Sempuh belum dipenuhi. Janji yang terabaikan menyebabkan kutukan pasti.

Baca Juga:

Eyang Anjar Purwani : Menjaga Jati Diri Bangsa Melalui Seni

Teh Eis Rahmawati : Sejarah Kesenian & Kebudayaan Betawi-Bekasi

Sarba Mayangsari bukan tentang hiburan semata, melainkan satire sosial yang menyajikan konflik ruhani manusia, beban tradisi, dan konsekuensi terhadap janji. 

Kisah ini dikemas dalam gaya khas, Topeng Blantek yang diiringi musik, dialog jenaka, serta olahan tubuh yang energik.

Pentas ini menjadi sukses karena memadukan unsur humor, kritik, serta nilai-nilai budaya secara sempurna.

Pementasan ini diperankan oleh generasi muda seperti Aziz, Adel, Apik, Aping, Ahsan dan masih banyak lagi. 

Mereka berhasil membawakan lakon ini dengan kuat dan seolah membuat kita hadir pada kejadian tersebut.

Hadi Winarno Bersama Rusmantoro Hadir di Kegiatan Festival Teater Tradisional tahun 2025 di Gedung Kesenian Jakarta
Hadi Winarno (Dosen Kampus STIT Al Marhalah Al 'Ulya yang memakai pakaian serba hitam) bersama Rusmantoro (Memakai pakaian warna hijau) selaku Kasudin Kebudayaan Jakarta Selatan di Festival Teater Tradisonal Tahun 2025.

Suara Hati Penonton

Hadirnya pementasan ini disambut hangat oleh para penonton dari berbagai kalangan. Rusmantoro, Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan mengapresiasi pementasan Topeng Blantek, sekaligus memberikan saran sebagai sebuah catatan.

"Pementasan ini sudah sangat bagus. Tapi saya rasa ada ruh yang sedikit memudar, ciri khasnya perlu diperkuat lagi," ucap Rusmantoro.

Selain itu, antusiasme juga datang dari generasi muda. Fatin, seorang Mahasiswi PBS Universitas Negeri Jakarta, tidak bisa menyembunyikan rasa kagum terhadap pementasan Topeng Blantek ini.

"Rasanya menyenangkan banget! Alurnya mengalir, sampai-sampai saya enggak sadar pertunjukannya sudah selesai. Selain itu, banyak sekali pesan yang bisa kita ambil dari pertunjukan ini," Ucapnya.

Tak hanya itu, Fatin pun merasa ingin terlibat dalam melestarikan kesenian tradisional.

"Saya jadi terinspirasi untuk ikut terlibat dalam mengembangkan dan melestarikan seni tradisional ini," tambahnya.

Penonton lain yang memberikan pandangan melalui kacamata Pendidikan adalah Grace, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. 

Ia menilai bahwa pementasan ini memiliki potensi sangat kuat untuk menjembatani antara kesenian tradisional dan dunia akademik.

"Ini bisa menjadi jalan awal bagi generasi muda. Pertama-tama kenal dulu, lalu tertarik, dan akhirnya ikut terlibat. Paling tidak, mereka punya pengetahuan dulu tentang seni Topeng Blantek, kontennya seperti apa, musiknya seperti apa, hingga bentuk pementasannya seperti apa," ucap Grace

Selain itu, Grace beranggapan bahwa kontribusi yang paling konkret dalam dunia akademik adalah menjadikan seni tradisional itu sebagai bagian dari tugas-tugas mahasiswa, seperti skripsi, artikel, dan lain sebagainya.

"Skripsi dan Artikel bisa menjadi kontribusi nyata, dan ajang menyebarluaskan kesenian tradisional. Ini merupakan bagian dari kontribusi dunia Pendidikan dalam melestarikan warisan budaya kita," tutupnya dengan penuh harapan.

Menjaga Warisan, Menyentuh Zaman

Dengan hadirnya Sarba Mayangsari, Topeng Blantek tak hanya membuktikan dirinya masih relevan, tetapi mampu menembus lintas generasi.

Pertunjukan ini menunjukan bahwa budaya itu bukan sekedar warisan terdahulu, melainkan ruang komunikasi lintas generasi.

Ketika gorden panggung tertutup dan lampu-lampu meredup, ada satu pesan yang akan diingat terus dibenak penonton.

"Setiap janji yang diucapkan, baik kepada makhluk ataupun Tuhan adalah utang yang harus dilunasi,". 

Kisah ini mengajarkan kita bahwa manusia bisa tertawa dan bisa jatuh cinta, tetapi mereka tidak bisa lari dari janji yang dibuat sendiri.

Penulis: Alif Hafidzt Aulia

Posting Komentar untuk "Lakon Sarba Mayangsari di Festival Teater Tradisonal: Kisah Sarba Mulai dari Tekanan Sosial hingga Kutukan Janjinya"