La Revolte et ses Chaines: Quand les mots Domptent les Ames
![]() |
ilustrasi (persmarhalah.com) |
Bekasi, Pers Marhalah
Prologue
Pada abad pertengahan, berdiri sebuah kandang kumuh Menagerie. Atapnya bolong, tanah merahnya yang lembab, dan jerami-jerami yang berserakan di sudut-sudut kandang.
Hewan-hewan yang hidup di dalamnya hidup dalam tekanan, tanpa mendapatkan kesejahteraan sedikitpun.
Tuan Romanov, sang pemilik kandang, ia lebih sering menenggak Vodka dari pada memberikan makan kepada hewan-hewannya.
Setiap pagi, Romanov berjalan sempoyongan, rambutnya berantakan, dan matanya merah tajam. Lalu, ia berbicara kepada dirinya sendiri dengan bahasa aristokrat, "Aku... pemilik sah kandang ini".
Memberi makan sesempatnya, memerah susu sapi secepatnya, memaksa telur ayam keluar sebelum waktunya, dan menyerap tenaga kuda sesukanya.
Di sisi lain, hewan-hewan mulai menggerutu sambil menyantap makanan yang tak seberapa. Sampai suatu ketika, Ayam Jantan dengan Jengger merahnya, melompat gagah ke palang kayu. Berkokok bukan untuk membangunkan Subuh, melainkan menyerukan pemberontakan.
"Waktunya sudah tiba! Penderitaan sudah terlalu banyak menimpa kita. Kebebasan Hidup dan Kesetaraan Hidup adalah milik kita," berkokok dengan gagahnya.
Sorak-sorai terdengar lugas dari dalam kandang. Enguhan sapi terdengar, para kambing mengembik, ayam-ayam saling bersautan kokok-an, dan kuda mengenhentakan kakinya dengan keras. Semangat revolusi dari kandang kumuh mulai terlihat. Kemudian...
La Révolte dans l’Étable
Pagi berikutnya, langit terbelah oleh suara riuh dari dalam kandang. Kuda-kuda meringkik dengan kuat, kambing-kambing mengembik bergantian, dan anjing-anjing menggonggong tanpa henti.
Hari itu, mereka tak lagi menjadi kawanan hewan jinak, mereka sudah kerasukan arwah Luciver tanpa batas.
Dengan komando kuat dari babi sepuh yang belum usai sakitnya, para hewan menyerbu gubuk tua milik Ivan Petrovich. Pria setengah mabuk, dengan mata merah dan napas bau Vodka, langsung terjatuh dari tempat tidurnya.
Ia berusaha mengambil cambuk, tapi kedua tangannya gemetar tanpa henti. Seekor sapi menerobos pintu, kawanan kuda menutupi semua pintu darurat yang dimilikinya.
"Kandang ini milik kita!" Ayam jantan berteriak, sorakannya menggelegar seperti sangkakala memanggil perang.
Dengan kotoran-kotoran hewan yang berserakan, mereka mulai mencorat-coret gubuk tuan Petrovich, yang dikomandoi oleh Burung Beo, "Liberte, Egalite, Fraternite."
Kambing-kambing menghafal dan membacakan slogan tersebut sepanjang hari, dipandu oleh irama merdu yang dikeluarkan Burung Beo.
Tuan Petrovich yang panik, meninggalkan semua harta miliknya. Termasuk vodka dan ganja kesukaannya.
Ekspresi haru dan gembira terlihat dari kawanan hewan yang berkumpul. Mereka merayakannya dengan bebas, makan dan minum sepuasnya, tanpa batas, dan tanpa penghalang.
Babi Hutan (S) terlihat berdiri tegak di ujung desa. Memperhatikan tiga semboyan tersebut, dengan ekspresi muka datar dan bibir melengkung, ia berdesis dalam hati "Tiga semboyan itu bisa melahirkan kekuasaan yang bisa kugenggam."
Kandang yang terlihat seperti surga, sebenarnya menjadi gerbang awal lahirnya tirani dari wahyu-wahyu suci yang terlontar.
Le Poison Doux des Mots
Beberapa hari setelah revolusi itu, ketika euforia masih bergema di setiap sudut Menagerie, muncul seekor Merak di tengah lapang. Ekornya terbuka dan memantulkan sinar matahari pagi.
Sehelai bulu yang terjatuh seperti ribuan anak panah yang menancap ke tubuh musuh. Kawanan hewan terdiam, dan menunggu, apakah ada sesuatu besar yang akan diumumkannya.
Merak mengepakkan sayapnya, bersiap mengeluarkan suara merdunya. Kemudian ia bersabda dengan percaya dirinya.
"Saudara-saudaraku," dengan nada positif, "kita telah meruntuhkan tirani manusia. Kini kita berdiri sebagai pemilik mutlak Menagerie ini. Tapi, akankah revolusi ini cukup hanya dengan melemparkan Petrovich ke luar kandang? Tidak! Revolusi harus kita jaga, mari bersatu untuk menjaga Menagerie ini."
Melihat tiga semboyan yang terpampang, Merak bertilawah lagi "Liberte, Egalite, Fraternite." Tidak cukup hanya dengan kata-kata, "Hidup bebas adalah milik kita, kesetaraan bukan hanya hidup bersama, melainkan menjaga dan terus berproses dalam Menagerie ini."
Karena hanya di sanalah, kebebasan akan terjamin, kesetaraan akan terlaksana, dan persaudaraan sejati akan tercipta. Siapa yang bergabung ia adalah pahlawan, dan siapa yang pergi ia adalah pengkhianat.
Sabda merak mulai tertanam di kalbu setiap hewan. Sabda suci yang keluar dari lisan hewan yang suci nan indah.
Sekawanan kambing terlihat diam dan terpukau. Mereka mengembik seolah mendukung persatuan yang terjalin di Menagerie ini.
"Masuk ke Menagerie! Hidup kalian akan terjamin di sini!" embikkan semangat terbakar dari kawanan kambing. Burung beo mulai mempropaganda agar solidaritas terbangun dan memperkuat doktrin Menagerie.
Api semangat mulai membara. Ayam betina bergerak ke sana-sini, para anjing mengonggong seraya ajakan untuk hewan lain. Seluruh hewan terbawa suasana, tanpa tau fenomena apa yang akan terjadi.
Seekor keledai tua, menghela napas di sudut kandang. Pengamat skeptis yang sudah pontang-panting di kehidupan yang sebenarnya. Ia berbisik lirih, "Rayuan kata adalah pedang yang sangat tajam. Hari ini, mereka akan terus menyembahnya, di kemudian hari, mereka akan diperbudaknya." Sama seperti yang dilakukan Petrovich dan Romanov.
Ketika sudah terbawa suasana, dengan sabda suci, tak akan ada hewan yang mau mendengarkan suara ringkikan keledai tua itu. Padahal, dia adalah pengamat skeptis yang handal.
Sejak itu, suasana kandang dihidupi oleh sabda-sabda suci yang menjelma menjadi "Senjata Maut".
Le Loup et les Slogans Déformés
Di balik kegembiraan dan sorak-sorai kemenangan, seekor Serigala Pengintai dari suku Cheyenne mengintai dari balik kandang.
Tubuhnya kecil, bulunya hitam pekat, tetapi pandangan matanya tajam berkilat. Tak berkedip sedikitpun. Ia sudah tau, kekuasaan sejati bukan didapat dengan cakar dan taring yang penuh darah, melainkan dengan strategi retoris yang diam-diam merayap ke dalam otak para hewan.
"Kandang bisa terbakar oleh api, tatapi massa bisa terbakar oleh kata," gumamnya dalam hati.
Dengan langkah mengendap, ia mendekati tiga semboyan suci itu. Tulisan dari kotoran mereka masih terlihat jelas, menjadi semacam pedoman suci bagi hewan-hewan.
Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan.
Terlalu polos, dan terlalu berbahaya jika dibiarkan murni tanpa tafsir. Kemudian, ia mengumpulkan kotoran sapi, dan menorehkan kata-kata kecil, samar tapi penuh racun.
"Liberté sous leadership."
"Égalité pour les fidèles."
"Fraternité dans la ménagerie."
Kini, tiga semboyan suci berubah arah. Bukan lagi kalimat pembebasan, melainkan kawat rantai yang menjerat leher mereka.
Para hewan kebingungan. Sapi saling berpandangan, ayam-ayam berkokok gelisah, babi-babi berlarian tanpa arah.
Kegaduhan tersebut akhirnya memanggil Merak keluar. Terbang dengan indahnya ke tengah kawanan, dan mengeluarkan suara merdu untuk menenangkan kerumunan.
"Saudara-saudaraku, lihatlah betapa bijaknya teman kita! nada menenangkan yang indah. "Ia menambahkan makna baru agar kita tak berdosa.
Kebabasan di bawah kepemimpinan mencegah kita dari kekacauan. Kesetaraan untuk yang setia melindungi kita dari pengkhianatan. Persatuan di dalam Menageria menyatukan kita agar tidak terpecah-belah." Sabda suci lagi-lagi keluar dari hewan yang suci.
Suasana hening sesaat, seakan mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan Merak. Tak lama, sorak-sorai mulai pecah di tengah kerumunan.
"Bijak! Bijak! Bijak"
"Setuju! Kami setuju!"
Sabda suci Merak ketika berkhutbah, dibungkus dengan teknik yang bagus, sehingga menutupi tipu muslihat yang ingin diciptakan Serigala Pengintai itu.
Keledai tua yang jarang masuk rombongan, mulai menggerutu lirih lagi, "Itulah kata-kata. Awalnya indah, lama-kelamaan akan berubah menjadi bencana. Mereka tak sadar, Menageria ini justru semakin rumit.
Sejak itu, semboyan Menageria resmi beralih menjadi bisikan halus yang membelenggu. Menciptakan sistem baru, dan Oligarki yang cepat bertumbuh.
Règle totalitaire
Malam demi malam, semboyan suci mulai berubah. Tak tahu siapa yang merubahnya. Setiap fajar, hewan terbangun dengan suasana yang tak biasa. Semboyan yang seharusnya menjadi saksi perjuangan mereka, kini menjadi sabda baru yang mengkhawatirkan mereka.
"ALL ANIMALS ARE EQUAL, BUT THOSE WHO FOLLOW THE MENAGERIA SYSTEM ARE MORE CONSIDERED AND MORE EQUAL."
Tak ada yang berani bertanya dan membantah. Kawanan kambing bisu melihat semboyan baru. Burung Beo sebagai propagandis handal menjadi penyiar radio di semua saluran tv, hingga sosial media.
Sistem meritokrasi mulai terbentuk. Siapa yang kerja keras demi Menageria ini akan otomtis mendapatkan jabatan tinggi. Kuda, misalnya.
Kerja tanpa ingat waktu. Bangun pagi, pulang sore untuk mensejahterakan Menageria. Lelah yang keluar, tak mendapat imbalan apa-apa.
Tubuh kekar kuda, tak abadi selamanya. Ada rasa lelah, bahkan jatuh sakit. Serigala Pengintai licik menjenguknya. Ia berkata layaknya Tuhan, "Pengorbananmu akan terus diingat di Menageria ini."
Informasi itu sampai ke telinga Merak. Merak mengatur waktu untuk mengumpulkan seluruh kawanan hewan. Berkhutbah dengan kalimat-kalimat indahnya.
"Lihatlah kuda itu, ia bekerja keras untuk membranding Menageria ini. Sakitnya adalah lubung pahala untuknya! Kematiannya adalah stampel Pahlawan untuknya!," kata sambutan yang indah dari Merak.
Hewan-hewan yang lain bersorak-sorai atas pengorbanan Kuda. "Kuda adalah Pahlawan! Kuda akan masuk surga! Dan mendapat imbalan yang sepadan," embikkan polos kambing yang tak tau apa-apa.
Burung Beo mulai mengumumkan Syahidnya kuda di seluruh saluran informasi. Sedangkan keledai tua hanya berkata sepenggal kepada kawanannya, "Kesetiaan tanpa akal hanya akan berakhir sebagai daging di Meja Tuan baru."
Serigala dan Merah tersenyum licik melihat kejadian itu. Mereka berdua duduk di singgasana Jerami yang dibuat oleh hewan-hewan lain.
Dari sana, kuku serigala menjadi sakti. Sayap merak menjadi perintah mutlak. Setiap malam, mereka menggelar pertemuan rahasia bersama Burung Gagak (Adolf). Wakti demi waktuu ada saja hewan yang dijadikan tumbal untuk mereka.
Anjing-anjing mulai diangkat menjadi aparat keamanan totaliter. Jika ada yang berani bertanya dan membantah, ia langsung menyergah dan mengambil tindakan.
Setiap malam burung beo menyiarkan pengumuman baru, "Pertanyaan adalah tanda pemberontakan, membantah adalah tanda pengkhianatan, dan pengkhianatan adalah dosa terbesar terhadap Menageria."
Suasana kandang tak lagi terlihat gembira. Semua hewan menjadi khawatir dan tak lagi mempunyai kebabasan apapun. Kini, Menageria tak lagi milik mereka. Menageria, kini telah menjadi tirani baru. Lebih sadis dari yang dulu.
Hadirnya buruk gagak di Menageria itu menjadi ancaman bagi hewan-hewan lain. Semuanya tunduk dan patuh terhadapnya. Melawan berarti pengkhianat, hukumannya bukan lagi dikeluarkan dari Menageria, melainkan menghilang dari peradaban.
Di balik semua itu, birokrasi teratas berpesta ria. Meminum sebotol Wine, Menyantap Olive Wagyu hangat, dan menyusun strategi yang lebih kejam lagi.
"Cakar bisa melukai tubuh, tapi kata bisa menguasai hati. Dari hati yang tunduk, timbullah tubuh yang mudah dikendalikan," ucap Serigala di meja jerami mewahnya.
Epilogue
Malam menutup Menageria dengan sunyi yang menakutkan. Lampu binatang menyorot tajam ke arah semboyan baru yang tercipta.
Kawanan hewan mengunci mulutnya. Sebagian mereka masih terpukau oleh kata-kata manis Merak, sebagian lagi mengerang lirih dalam kebingungan, tak bisa berbuat apa-apa.
Keledai tua menatap kosong cakrawala. Menyadari satu hal, bahwasannya revolusi tak akan pernah berakhir.
Semboyan suci yang pernah mereka bangun, dulu dijunjung tinggi. Dan kini, menjadi kawat rantai tajam yang mengikat mereka.
Di depan microphone, Burung Beo selalu menyiarkan semboyan baru, dengan gagah dan lantangnya. Anjing-anjing aparat terus mengawasi, bergantian setiap malam. Ada juga kawanan serigala yang diam-diam menjadi intel di dalam kandang, dan di ujung desa.
Kata-kata itu kini bukan sekadar suara. Ia telah menjadi penjerat tak kasat mata, yang tak disadari seluruh hewan. Semboyan itu menjadi doktrin abadi— mengikat hati, membelenggu pikiran, dan menutup segala kemungkinan untuk benar-benar bebas.
Penulis: Alief Hafidzt
Posting Komentar untuk "La Revolte et ses Chaines: Quand les mots Domptent les Ames "