Freire Menangis dan Kant Menggeleng: "Ironi KKN di Era Digital"
![]() |
Dokumen Persmarhalah.com (Ilustrasi yang bisa kalian terjemahkan kembali) |
Bekasi, Pers Marhalah
Selamat datang, para manusia pengembang Amanah Rakyat!!!
Begitulah sambutan hangat para leluhur di Kota yang serba hijau. Semboyan itu adalah sabda suci dari mereka yang sudah menikmati pahitnya dunia. Sinar matahari sore seolah membawa harapan besar kepada hamba beriman di kota tersebut.
Mereka datang memakai almamater suci, mengemban kewajiban kampus dan harapan suci dari masyarakat tertinggal. Tapi, semua itu seolah hanya menjadi doa yang tersangkut di langit Tuhan.
Banyak tangan yang ternganga ke langit Tuhan, banyak lidah yang berucap penuh harapan, dan banyak Nabi baru yang ingin menjadi perantara menuju Tuhan.
Solidaritas dan Topeng Moral
Semboyan yang telah saya paparkan di atas adalah sambutan di hari pertama kami berada di sana. Tapi ada satu hal yang teringat di otak saya, ucapan Emile Durkheim tentang Solidaritas Mekanik, sebuah komunitas pedesaan terikat oleh kesamaan nilai.
Itulah yang saya ingat ketika membaca sabda suci itu. Kami selalu bangga dengan label "Agent of Change", seorang idealis yang (katanya) dibutuhkan Masyarakat .
Faktanya? Ide dan gagasan, menyatu dengan warga, membantu warga, dan belajar dengan warga, hanyalah topeng mahasiswa. Terlihat pintar di hadapan mereka, dan membodohi mereka ketika di belakangnya.
Dan anehnya, saya hanya merasakan kenikmatan hidup di lingkungan hijau nan sejuk itu. Tanpa membantu dan tanpa belajar.
Waktu kami habis dengan rutinitas khayalan tingkat tinggi. Pendidikan Kaum Tertindas, menjadi sabda suci yang selalu dipegang teguh oleh Mahasiswa.
Freire membela mereka kaum tertindas dengan segala ide dan gagasannya. Freire yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang selalu berada dalam proses menjadi (becoming), dengan Dehumanisasi dan Humanisasinya.
Etika dan Eksistensi
Ketika malam hari, saya menyendiri di ruang sempit, kumuh, dan gelap. Saat duduk, saya flashback ketika Bung Karno di penjara yang sempit dan kumuh.
Tak hanya itu, saya pun merasakan apa yang dijalankan Pram ketika di pulau buru.
Dan akhirnya saya mendapatkan kesimpulan bahwa Filsafat etika lahir dari ruang yang menuntut manusia keluar dari labirin egoisme menuju tanggung jawab moral.
Sekarang kita tarik ke fenomena yang saya rasakan di kota hijau itu. Saya minta kalian bayangkan sekarang, jangan nanti. Apabila tindakan kita adalah mengabadikan momen gotong-royong lebih dari sekedar benar-benar bekerja, apakah itu pantas jadi hukum universal?
Bayangkan lagi, ketika sebuah dunia di isi oleh Mahasiswa yang hanya sibuk memotret saat kerja bakti, terlihat bekerja ketika di depan kamera. Nyatanya, semua itu hanya pencitraan di depan kamera, pencitraan di depan layar, dan bangga ketika diposting di sosial media.
Fenomena menakjubkan ini bertolak belakang dengan sabda Kant "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip tindakanmu dapat menjadi hukum universal". (Groundwork of the metaphysics of Morals, 1785).
Saya membayangkan Kant menggelengkan kepala ketika melihat keironian yang terjadi. Kenapa? Karena mereka sudah menggadaikan duty dengan self-branding.
Sartre tentu akan merespon fenomena ini dengan sebutan Self- Decepticon, apa maksudnya? Maksudnya adalah Mahasiswa menipu diri sendiri sedang merasa "Mengabdi", nyatanya mereka hanya mengejar "Eksistensi Digital" yang fana.
"Eksistensi Mendahulukan Esensi," itu kata Sartre di kitabnya Being and Nothingness.
Pada titik ini, Kegiatan Pengabdian justru menjadi cermin dilematisasi filosofis modern. Manusia terjebak dalam pusaran citra, demi mengorbankan substansi demi menyembah simbol.
Jika pengabdian direduksi menjadi konten, maka kita sedang menyembah tesis Jean Baudrillard tentang simulacra, kenyataan yang digantikan oleh representasi, di mana eksistensi narsisme pengabdian lebih penting dari substansi moral pengabdian itu sendiri.
Realitas yang menjadi Cerita
Sekarang saya bakal mencoba mengkaitkan fenomena yang terjadi dengan konteks sastra. Saya coba mulai dari Bumi Manusia karya Pramoedya, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Itulah kata Pramoedya yang selalu saya ingat sebagai seorang "Mahasiswa".
Ironi yang kami rasakan selama kegiatan, mulai dari keadilan berpikir dan keadilan moral. Kita baca fenomena ini sebagai narasi metaforis tentang alienasi dan simulasi kehidupan modern.
Seperti yang ditulis rendra dalam puisinya Sajak Sebatang Lisong, ada realitas yang disembunyikan di balik sajak-sajak indah dan citra estetis.
Sekarang saya coba tarik ke teori Mimesisnya Aristoteles, yang menyatakan bahwa seni pada dasarnya adalah representasi dunia nyata, bukan hanya sekadar menyalinnya.
Lebih ironi lagi sekarang, secara tidak sadar mahasiswa sudah mengaplikasikan teori Mimesis ke dalam kegiatan pengabdian ini.
Mereka merepresentasikan "Pengabdian" ideal, bukan pengabdian otentik. Sawah yang kering, irigasi yang macet, dan harapan masyarakat yang hanya tergantung di langit-langit Tuhan. Kami sudah berlindung dibalik topeng kebenaran dan dibalik label Agent of Change.
Kejadian-kejadian yang terjadi kerap kita rasakan kemaren ketika pengabdian di kota hijau itu, kita merasa nyaman terlihat gagah dan idealis di tengah tanah sawah yang retak, dan di tengah masyarakat yang tidak mendapatkan tiket mahasiswa.
Refleksi Saya: Untuk Apa Kita Datang?
Akhirnya saya menyadari, KKN sudah bukan lagi ritual suci pengabdian, melainkan sudah menjadi pencitraan ritual semata. Kita sudah tidak lagi berangkat dengan etos Freire dengan membela kaum-kaum tertindas. Kita tidak lagi menulis sejarah sosial, tetapi membuat feed yang estetik, padahal penuh formalitas saja.
Kita tidak lagi membangun dan membela warga desa, melainkan membangun persona branding mahasiswa dengan Agent of Change-Nya.
Saya menangis melihat fenomena demikian, hingga menimbulkan pertanyaan di sela-sela kehampaan saya.
Untuk siapa kita datang? Untuk apa sebagai mahasiswa? Dan untuk apa kita menyandang privilege Mahasiswa?.
Saya rasa kita hanya aktor dengan Judul "Menghancurkan desa orang" yang sedang menuliskan naskah drama baru dari ironi kebudayaan kita sendiri.
Penulis: Alief Hafidzt Aulia
Posting Komentar untuk "Freire Menangis dan Kant Menggeleng: "Ironi KKN di Era Digital""